Gili itu dream place yang selama ini saya cari.
Gili dengan segala pasir putih.
Penduduk yang bercampur menjadi satu.
Tidak ada yang benar-benar peduli siapa dan apapun kamu.
Mungkin itu ya yang bisa menjelaskan konsepsi Freedom yang sesungguhnya (buat saya). Hidup dimana pilihan pribadi yang mendrive pilihanmu dan engga merugikan orang lain. Freedom atau kebebasan itu berangkat dari selera (atau taste dari seseorang). Selera saya terkait Gili, berangkat dari saya yang cintaak berat sama pantai dan bisa hidup selo kaya di pulao gitu (plus banyaknya cowok bule yang seliweran naik sepeda topless *ohh mamak *mimisan *boceng ke penguhulu mister).
***
Selera itu biasannya berangkat dari prinsip dan latar belakang hidup yang sudah kita pilih dan sebagian sudah kita jalanin. Jujur, kalau Indonesia masih mengangkat freedom tapi masih musingin banyak hal urusan masing-masing individunnya, selera pribadi yang jadi taruhannya. Ngomong-ngomong selera Indonesia, bayangan saya itu udah ribet banget. Orang Indonesia itu banyak, beda dari satu individu, budaya dan sudut pandangnya. Terus kalau satu orang suka sesuatu yang engga mainstream kemudian itu malah jadi bahan gunjingan. Padahal balik lagi, selera orang itu beda-beda.
Agak konyol kalau selera musik ikut di bahas, terlebih masalah kedatangan musisi asing yang mau konser di Indonesia. Pelik dan ribet banget rasannya. Banyak yang dipermasalahin, mulai dari budaya sang artis dan aturan main. Musik itu selera. Pilihan hidup itu selera. Kesukaan itu selera. Cowok sipit kelihatan ganteng, ya selera. Dari tagline 'Pria punya selera' sampai 'Indomie... seleraku', itu juga selera toh... Lucunya, se Indonesia ini 'bisa sama' untuk masalah selerannya sama Indomie ;p
*Saran: Indomie patut dapat nobel persahabatan Indonesia, bisa menyatukan di segala jenis beda*
Ya.. itu tadi selera ki yo senenganmu dhewe lah.Selera itu subjektif!
Nah, buat apa nge-gunjing selera orang lain, kalau seleramu sendiri engga pingin di gunjing :)
Cafe CED
9:45
No comments:
Post a Comment